Piala AFF U-19 2022, Biscotto Thailand-Vietnam dan Cermin Retak Asia Tenggara di Dunia Sepak Bola
Kasus dugaan "sepak bola gajah" antara Thailand melawan Vietnam di Piala AFF U-19 2022 merupakan cermin retak sepak bola Asia Tenggara.
Bukannya nama-nama talenta masa depan Asia Tenggara yang muncul dari gelaran rutin tersebut, justru laga Thailand melawan Vietnam yang jadi topik utama.
Bukan hasil yang jadi sorotan, tetapi kesan kedua tim yang tak lagi mengejar kemenangan usai mencetak gol dalam hasil imbang 1-1 karena diduga "takut" berhadapan dengan Timnas U-19 Indonesia.
Kedua tim seakan telah mengikuti jejak Timnas Indonesia dan Thailand yang sama-sama menghindari Vietnam selaku tuan rumah Piala Tiger 1998.
Sikap Thailand-Vietnam di Piala AFF U-19 dan Indonesia-Thailand di Piala Tiger 1998 mencerminkan perilaku sepak bola biskuit atau biscotto.
Istilah biscotto pertama kali populer usai Timnas Italia disingkirkan Denmark dan Swedia di Euro 2004 dengan skenario serupa Timnas U-19 Indonesia.
Media Italia sering memakai terminologi “biscotto” untuk menggambarkan perjanjian main mata atau kompromi yang dilakukan dua tim untuk mencari aman dan mengubur harapan pesaing.
Secara harfiah, biscotto berarti biskuit. Awal mulanya, istilah ini dipakai di pacuan kuda.
Biskuit menjadi sarana untuk mengatur hasil pacuan kuda. Pemilik kuda yang diunggulkan menang akan memberi makan kuda pacunya biskuit berkandungan ilegal.
Tujuannya adalah membuat performa si kuda unggulan merosot sehingga kuda lain yang tak diunggulkan bisa menang.
Perilaku tersebut tentu mirip dengan terminologi "sepak bola gajah" yang populer dalam pembicaraan pencinta sepak bola Indonesia.
Kedua terminologi tersebut sama-sama bermakna menyebalkan sekaligus mencederai nilai utama dalam pertandingan olahraga, yaitu sportivitas, fair play, dan bermain untuk menang.
Lalu, mengapa ini semua terjadi?
Ekosistem "Bapuk" Sepak Bola Asia Tenggara
Pemain Thailand terjatuh untuk mengulur waktu dalam laga kontra Vietnam di Piala AFF U-19 2022 (10/7/2022). (BolaNas.com)
Suka tidak suka, sepak bola Asia Tenggara jauh tertinggal dibandingkan sub-region benua Asia lainnya.
Prestasi tim nasional atau klub-klub Asia Tenggara juga tak mentereng di kompetisi resmi bentukan FIFA atau AFC.
Di level Piala Dunia, belum ada satu pun negara ASEAN (Hindia Belanda tidak masuk dalam hitungan) yang berhasil lolos ke putaran final.
Sementara di level kelompok umur, Thailand baru bermain dalam dua edisi di Piala Dunia U-17 (1997 dan 1999), Indonesia (1979), Myanmar (2015), dan Vietnam (2017) sama-sama sekali tampil di level U-20.
Sementara di Piala Asia, prestasi terbaik negara-negara ASEAN terjadi saat Myanmar jadi runner-up turnamen edisi 1968.
Sementara di level klub, ASEAN hanya menyumbang dua gelar Liga Champions Asia (1993-94, 1994-1995) dan satu gelar Piala AFC (2015).
Pasalnya, bukan prestasi yang jadi masalah dasar sepak bola ASEAN, melainkan "integritas".
Eks-Head of Security FIFA, Chris Eaton, pernah menyindir Asia Tenggara yang kurang berkomitmen mengatasi masalah "korupsi olahraga" pada 2013.
“Jika Anda tidak fokus pada penipuan taruhan, maka Anda tidak akan dapat mengatasi korupsi olahraga dengan benar. Korupsi olahraga lahir dari penipuan taruhan, ini adalah siklus," kata Chris Eaton dilansir dari Reuters.
"Bisa juga bertaruh pada tiddlywinks (sejenis permainan anak-anak) atau pada lalat yang merayap di dinding."
“Tidak ada keinginan untuk mengatur rumah judi di Asia Tenggara. Terdapat kurangnya komitmen."
"Tanggung jawab mereka bukan hanya untuk menarik bisnis tetapi juga mengatur bisnis dengan benar,” kata Eaton.
Negara-negara ASEAN memperlakukan turnamen Piala AFF atau SEA Games layaknya Piala Dunia yang menggunakan segala cara di lapangan untuk diakui sebagai "jago kampung" alias juara.
Target juara adalah barang jamak di lingkungan federasi sepak bola Asia Tenggara, tanpa adanya perbaikan menyeluruh di level akar rumput.
Tindakan lancung dan tak mengindahkan nilai fair play kerap terjadi di turnamen antarnegara ASEAN, seperti kasus Indonesia melawan Thailand di Piala Tiger 1998.
Kasus pengaturan skor juga kerap terjadi, salah satunya kasus tertangkapnya tiga orang fixer yang terbukti mengatur hasil pertandingan SEA Games 2015 di Singapura.
Mundur jauh pada tahun 2007, enam pemain Timnas Vietnam didakwa atas kasus pengaturan skor yang mereka lakukan pada SEA Games 2005.
Di level klub, ada kasus yang menimpa klub Liga Vietnam pada musim 2014, di mana 13 pemain Vissai Ninh Binh didakwa melakukan pengaturan skor di Piala AFC.
Pada 2017, 22 pemain Laos dan Kamboja dijatuhi larangan bermain seumur hidup usai terlibat dalam kasus pengaturan hasil laga Lao Toyota FC.
Negara sekuat Thailand pun tak kebal dari kasus match fixing usai 15 pemain, ofisial, dan wasit dihukum penjara karena kasus pengaturan skor di Liga Thailand.
Setahun berselang, sepak bola Indonesia juga pernah mengalami kejadian serupa yang menyeret sejumlah pejabat tinggi PSSI.
Tentu negara-negara yang disebutkan diatas sudah mulai berbenah setelah kejadian memalukan itu, meski masih punya sederet pekerjaan rumah agar lolos ke Piala Dunia.
Laos sudah berhasil menembus final Piala AFF U-19 2022, sementara klub asal Kamboja dua kali berhasil mengalahkan juara Liga Indonesia, Bali United.
Sementara Thailand berhasil membentuk liga yang punya tata kelola terbaik di Asia Tenggara.
Vietnam saat ini menikmati periode keemasan bersama Park Hang-seo, sementara Indonesia sedang dalam periode transisi di bawah Luis Milla dan dalam proses penyempurnaan oleh Shin Tae-yong.
Pertanyaan yang tersisa, kapan tim-tim ASEAN bakal jadi juara Piala Asia atau setidaknya lolos ke Piala Dunia level senior?
1 komentar